Jumat, 19 Februari 2010

Kebudayaan Daerah Kepulauan Riau

kebudayaan daerah kepulauan Riau memiliki sejarah yang cukup panjang. awalnya,kepulauan Riau bukanlah daerah yang strategis.tetapi juga sarat dengan Sumber Daya Alam (SDA) ini pernah menjadi salah satu pusat kerajaan Melayu, yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Peninggalan-peninggalannya sampai hari ini masih dapat dijumpai di Penyengat dan Daik-Lingga. Adanya peninggalan-peninggalan kesejarahan itulah yang kemudian menjadikan nama Penyengat dan Daik-Lingga tidak lepas dari pembicaraan orang. Apalagi, di pulau yang relatif kecil itu (Penyengat) terlahir seorang pujangga kerajaan yang salah satu karyanya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, bahkan mancanegara. Pujangga itu adalah Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya. Di awal kemerdekaan, Kepulauan Riau juga tidak lepas dari pembicaraan orang, terutama karena mata uang yang dipergunakan sebagai alat tukar bukan rupiah sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Dengan alat tukar yang menggunakan mata uang asing (Malaysia dan Singapura) membuat kehidupan masyarakatnya relatif lebih baik ketimbang masyarakat yang berada di daerah sekitarnya, malahan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mata uang yang dipergunakan memiluku nilai tukar yang lebih tinggi ketimbang rupiah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kepulauan Riau pada waktu itu dapat diibaratkan bagaikan “gula”, sehingga banyak para pendatang yang ingin “kecipratan” rezeki di sana. Di tahun 80-an, Batam yang pada mulanya masih berupa hutan dan karenanya jarang disebut-sebut orang, menjadi kekuatan dahsyat yang digerakkan oleh otorita. Pembangunan fisik secara besar-besaran dilakukan di sana, sehingga nama Kepulauan Riau (baca Tanjungpinang) semakin tenggelam. Orang lebih tahu Batam ketimbang Tanjungpinang. Padahal di masa lalu, orang lebih mengenal Tanjungpinang ketimbang Batam. Namun dewasa ini, khususnya sejak dicanangkannya Batam-Bintan dan sekitarnya dijadikan sebagai kawasan industri dan pariwisata, nama Kepulauan Riau, sedikit demi sedikit, mencuat kembali. Lobam menjadi kawasan industri, sementara Lagoi menjadi kawasan pariwisata terbesar di Asia Tenggara. Dan, masyarakat dari berbagai daerah pun kembali berdatangan guna mengadu nasib, mengejar kehidupan yang lebih baik ketimbang di daerahnya sendiri.Kepulauan Riau semakin menarik dan dibicarakan orang ketika tahun 1999 masyarakatnya menyelenggarakan musyawarah besar (Mubes) guna meningkatkan kesejahteraannya. Musyawarah yang diselenggarakan di kilometer 10 (batu 10), tepatnya di Hotel Royal Palace, tanggal 15 Mei 1999, membuahkan tekad (keputusan) bahwa Kabupaten Kepulauan Riau mesti dimekarkan, baik horizontal maupun vertikal. Satu dari sejumlah alasannya adalah kondisi geografis Kepulauan Riau, yang jika masih bergabung dengan Provinsi Riau, maka rentang kendali pemerintahannya tidak efektif dan efisien. Dan, jika ini dipertahankan, Kepulauan Riau akan semakin ketinggalan dibanding dengan daerah lain yang tergabung dalam Propinsi Riau.Buah dari Mubes itu adalah terwujudnya beberapa kecamatan bergabung dan menjadi Kabupaten Karimun. Kemudian, beberapa kecamatan yang berada di kawasan Pulau Tujuh bergabung dan menjadi Kabupaten Natuna. Sementara itu, Tanjungpinang yang pada mulanya hanya sebuah kota administratif, kini telah berubah status menjadi kota otonom. Dengan perkataan lain, pemekaran secara horizontal hampir seluruhnya terwujud. Sedangkan, pemekaran secara vertikal (provinsi) adalah terwujudnya wilayah Kepulauan Rian menjadi sebuah provinsi sendiri (lepas dari Provinsi Riau). sedangkan keadaan sosial budaya di daerah Kepulauan Riau ini sangat erat kaitannya dengan faktor geografis, kependudukan, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, ada baiknya jika kita lihat sekilas tentang sejarah atau persebaran orang yang kemudian kita sebut sebagai “Melayu”.Berkenaan dengan ini Melalatoa menyebutkan bahwa sesudah zaman es terakhir datanglah sekelompok orang yang bercirikan ras weddoid ke Nusantara, termasuk ke daerah Riau. Sampai sekarang sisa-sisa mereka masih ada, yakni orang: Sakai, Hutan, dan Kubu yang kemudian disebut sebagai “orang asli”. Dalam kurun waktu 2.500 sampai dengan 1.500 Sebelum Masehi datanglah orang-orang yang kemudian disebut sebagai Proto Melayu. Melalui Semenanjung Melayu mereka menyebar ke Sumatera. Sisa-sisa mereka yang kemudian dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut juga masih dapat ditemukan di daerah Riau. Gelombang berikutnya (masih menurut Melalatoa) adalah yang terjadi sesudah tahun 1.500 Sebelum Masehi. Mereka kemudian disebut sebagai Deutro Melayu (Melalatoa, 1986:190).Sementara itu, Suparlan, berdasarkan catatan ahli kepurbakalaan (Van Heakeren dan Soekmono), menambahkan bahwa sebelum orang Melayu datang ke Nusantara (ke daerah Riau), sebenarnya di sana telah ada penduduknya. Bahkan, menurutnya bukan hanya ras Weddoid semata, tetapi juga Austroloid. Berdasarkan catatan itu, Suparlan menduga bahwa penduduk yang tergolong sebagai ras Weddoid dan Austroloid itu masuk ke pedalaman karena terdesak oleh orang-orang Proto Melayu. Sementara itu, orang-orang Deutro Melayu (yang datang pada gelombang migrasi berikutnya) juga mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman, sehingga terdapat percampuran antara orang-orang Weddoid, Austroloid, dan Proto Melayu. Selain itu, ada orang-orang Proto Melayu yang melarikan diri ke pedalaman, dan ada juga yang hidup berdampingan, bercampur-baur dengan orang-orang dari Deutro Melayu (Suparlan, 1995: 39--40). Dari berbagai pendapat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Orang Melayu bukan merupakan orang-orang yang berasal dari satu ras tertentu, melainkan merupakan percampuran dari berbagai ras, baik yang berkulit hitam maupun kuning.Faktor kesejarahan ditambah dengan letak geografisnya yang langsung berbatasan dengan negara jiran (Malaysia dan Singapura), dan masih ditambah lagi dengan berada di sekitar jalur perdagangan dan atau pelayaran internasional (Selat Malaka), maka pada gilirannya membuat orang Melayu terbiasa mengadakan kontak dengan unsur dan atau pendukung kebudayaan asing. Kontak-kontak itulah yang kemudian mempengaruhi corak kebudayaan1 orang Melayu itu sendiri.
Provinsi Kepulauan Riau merupakan gerbang wisata dari mancanegara kedua setelah Pulau Bali. Jumlah wisatawan asing yang datang berkunjung mencapai 1,5 juta orang pada tahun 2005. Objek wisata di Provinsi Kepulauan Riau antara lain adalah wisata pantai yang terletak di berbagai kabupaten dan kota. Pantai Melur, Pulau Abang dan Pantai Nongsa di kota Batam, Pantai Pelawan di Kabupaten Karimun, Pantai Lagoi, Pantai Tanjung Berakit, Pantai Trikora, dan Bintan Leisure Park di kabupaten Bintan. Kabupaten Natuna terkenal dengan wisata baharinya seperti snorkeling.
Selain wisata pantai dan bahari, provinsi Kepulauan Riau juga memiliki objek wisata lainnya seperti cagar budaya, makam-makam bersejarah, tarian-tarian tradisional serta event-event khas daerah. Di kota Tanjungpinang terdapat pulau Penyengat sebagai pulau bersejarah karena di pulau ini terdapat masjid bersejarah dan makam-makam Raja Haji Fisabililah dan Raja Ali Haji yang kedua-duanya adalah pahlawan nasional.
itulah kebudayaan kepulauan Riau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar