Rabu, 14 April 2010

15 Tahun Perjanjian Schengen

Tahun 1985, ketika negara-negara Beneluks, Jerman dan Perancis menandatangani perjanjian Schengen pertama, tidak sedikit politisi dan media yang mencurigai rencana penghapusan kontrol di perbatasan antar negara anggota. Mereka menilainya lebih sebagai resiko daripada peluang. Kehebohan juga terjadi di Jerman, ketika tetangganya di Timur, Polandia dan Ceko masuk dalam zona Schengen, Desember 2007. Perbedaan tingkat kesejahteraan diramalkan memicu persoalan keamanan dan naiknya angka kriminalitas di wilayah perbatasan.

Fakta yang berbeda ditunjukkan oleh Brandenburg, negara bagian Jerman yang bersebelahan dengan Polandia. Statistik tahun 2008 menunjukkan, angka kriminalitas turun 12% lebih dibanding tahun sebelumnya, ketika Polandia belum masuk wilayah Schengen. Persoalannya bukan terletak pada penghapusan pos pengawas perbatasan, kata Jurubicara Kementrian Dalam Negeri Jerman, Markus Beyer. "Penghapusan pos perbatasan tidak berarti polisi secara umum ditarik mundur. Itu juga bukan tindakan tepat menghadapi situasi saat ini. Jerman berada di tengah-tengah Eropa dan menjadi tujuan liburan para kriminil, dan mereka dikuntit juga oleh polisi jerman lewat apa yang disebut kontrol di pedalaman dan pelacakan khusus."

Perjanjian Schengen memungkinkan kerjasama polisi lintas perbatasan antar negara anggota, misalnya saling tukar data pelaku kejahatan. Markus Beyer menyebut Schengen sebagai prestasi terbesar Eropa yang tidak berdampak negatif di segi keamanan, juga bagi Jerman.

Beberapa tahun lalu, perusahaan-perusahaan yang aktif di daerah perbatasan Jerman-Polandia, masih mengkuatirkan perluasan zona Schengen ke Timur. Tapi kini, resiko keamanan tidak lagi dikaitkan dengan lokasi, kata Siegfried Behrendt, konsultan ekonomi di Brandenburg."Tidak besar di kawasan industri. Kami kebanyakan menghadapi kejahatan ringan khas daerah perbatasan, terutama pencurian mobil. Tapi polisi bertindak tepat dalam penanganannya", jelasnya.

Perjanjian Schengen juga menguatkan kerjasama peradilan antar negara anggota. Misalnya deportasi lebih cepat terhadap tersangka pelaku kejahatan. Jerman juga dimudahkan dalam menangani orang yang memasuki wilayahnya secara ilegal. Apa yang disebut perjanjian pengembalian memungkinkan Jerman untuk memindahkan pelaku ke negara Schengen yang berbatasan langsung dengan negara asalnya.

Sebetulnya kurang tepat jika Schengen dibatasi hanya pada aspek-aspek yang berkaitan dengan keamanan. Perjanjian ini diutamakan untuk perluasaan gerak dan rangsangan bagi perdagangan regional. Dari segi ekonomi makro, Jerman juga bisa menarik banyak keuntungan dari perjanjian Schengen. "Saya kira Jerman jadi pemenang dalam proses Schengen. Alasannya banyak. Tingkat ekspor Jerman tinggi. Dan peningkatan daya beli di Eropa timur berarti penambahan pasar baru bagi kita. Jerman kekurangan tenaga ahli. Keleluasan ruang gerak dan terbukanya pasar kerja yang dihasilkan perjanjian Schengen memungkinkan perusahaan Jerman untuk mendapatkan tenaga ahli, termasuk dari Eropa Timur."

Selasa, 06 April 2010

persoalan di perbatasan Irak

BOGOTA, KOLOMBIA (SuaraMedia News) – Rencana AS untuk menggunakan markas militer Kolombia mendapat tentangan di Amerika Selatan meskipun Washington telah berusaha menenangkan mereka.

Para pemimpin garis kiri Amerika Selatan mengkritik rencana AS menempatkan militernya di Kolombia, menuduh Washington menggunakan perang melawan obat-obatan terlarang sebagai kedok untuk meningkatkan keberadaan militernya di kawasan tersebut.

Konsultan urusan luar negeri presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan pada Jones pada hari Selasa bahwa Brazil menentang prospek penempatan personel militer AS di markas-markas militer Kolombia.

“Saya tegaskan bahwa ini tidak ada hubungannya dengan posisi ideologi apa pun,” ujar Marco Aurelio Garcia setelah bertemu dengan Jenderal Jim Jones, Penasihat Keamanan Nasional presiden Obama yang mencoba meredakan kekhawatiran tentang kehadiran militer AS di kawasan.

Jones mengatakan ketakutan bahwa markas-markas itu akan meningkatkan desain militer AS melebihi upaya memberantas narkoba di Kolombia tidak dapat dibuktikan.

Terlepas dari jaminan Jones itu, negara-negara Amerika Selatan tetap mengecam rencana tersebut.

Brazil mengkritik rencana ini dan mengatakan bahwa “markas-markas militer asing di kawasan ini tampak seperti peninggalan Perang Dingin.”

Hanya presiden Peru, Alan Garcia, sekutu lain AS di kawasan, yang mendukung keputusan presiden Kolombia, Alvaro Uribe.

Ini setelah presiden Bolivia, Evo Morales, mengatakan setelah bertemu dengan Uribe pada hari Selasa bahwa ia akan mendesak bangsa Amerika Selatan untuk menolak rencana tersebut.

Morales mengatakan kelompok pemberontak Kolombia, FARC, yang melakukan perdagangan obat-obatan terlarang menjadi “alat yang sempurna” bagi Washington untuk merayu Bolivia dan membenarkan operasi militernya di kawasan ini.

“Apa yang dikatakan AS ketika menginvasi Irak? Mereka bilang Irak memiliki senjata pemusnah masal. Di mana senjata itu? Saddam adalah sasaran yang sebenarnya. Di kawasan kita, kedok mereka adalah perang melawan perdagangan obat-obatan terlarang.”

Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang telah lama berseberangan dengan AS, mengatakan ia khawatir markas-markas itu akan digunakan untuk melakukan invasi terhadap negaranya oleh sebuah “kekuatan militer Yankee”.

Ia juga mengatakan rencana Kolombia itu dapat menjadi sebuah langkah menuju perang di Amerika Selatan dan menyerukan kepada presiden Obama untuk tidak meningkatkan keberadaan militer AS di Kolombia.

“Markas-markas tersebut dapat menjadi awal dari sebuah perang di Amerika Selatan,” ujar Chavez. “Kita sedang membicarakan para Yankee, bangsa paling agresif dalam sejarah umat manusia.”

Pada hari Senin, Marco Aurelio Garcia, konsultan urusan luar negeri presiden Brazil, bertemu dengan Chavez, yang telah membekukan hubungan dengan Kolombia atas kemungkinan pelanggaran yang akan dilakukan AS terhadap negara-negara tetangga di kawasan.

Tanpa membeberkan isi pembicaraannya dengan Chavez, Garcia mengatakan ia telah mengungkapkan posisi Venezuela kepada Jones.

“Ini saatnya untuk melakukan aksi yang lebih diplomatis dan menghindari perang media,” ujarnya.

“Hubungan AS dengan beberapa negara di Amerika Selatan sangat lemah,” ujar Garcia sambil menyarankan “sebuah dialog konsisten yang mengesampingkan persoalan-persoalan sekunder dan fokus pada masalah yang mendasar.”

Ia mengatakan Jones meyakinkannya bahwa AS mencari markas di Kolombia hanya untuk memfasilitasi “aksi kemanusiaan” dan membantu memberantas perdagangan obat-obatan terlarang.

Namun, Garcia tampaknya tidak dapat diyakinkan.

“Tak peduli sebanyak apa penjelasan yang diberikan,” ujarnya, markas militer asing di kawasan mereka “tidak terlihat sebagai sebuah faktor yang akan berkontribusi meredakan ketegangan.”

Garcia mengatakan, sementara Brazil tidak akan menjadikan isu markas Kolombia menjadi pemicu ketegangan dengan AS, Brasilia berharap dapat melihat Washington membuka dialog baru dengan Amerika Latin.

“Saya katakan padanya (Jones) bahwa Lula memiliki hubungan yang sangat baik dengan presiden Bush dan ia memiliki ekspektasi yang lebih besar terhadap presiden Obama,” ujar Garcia.

Ia juga menyebutkan kekhawatiran Brazil mengenai markas asing di Kolombia.

“Saya tidak yakin kedaulatan akan terancam, tapi saya juga tidak yakin bahwa pendirian markas yang tidak begitu jelas tujuan keberadaannya di dekat perbatasan Amazonia, yang seringkali menjadi obyek keserakahan internasional, akan menjadi sesuatu yang positif,” ujarnya.

Lula tidak akan mencoba menghalangi Uribe menandatangani perjanjian dengan AS, namun ia akan mendesak Kolombia untuk mempertimbangkan keuntungan dari kesepakatan tersebut. (rin/f24/lht/ptv) Dikutip oleh www.suaramedia.com