Rabu, 13 April 2011

LIkuiditas Bank

Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pengertian lain adalah kemampuan seseorang atau perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya.

Secara umum, definisi likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai.

Pada kali ini kita akan mempelajari tentang likuiditas bank secara umumnya, dimana fungsi dari likuiditas secara umum untuk :

1) Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari;

2) Mengatasi kebutuhan dana yang mendesak;

3) Memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan;

4) Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan Pengertian likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana jangka pendek.

Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan

Dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio reliabilitas.

Apabila bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak maka muncullahresiko likuiditas.

Definisi Resiko Likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuiditas ditentukan antara lain:

a) Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana;

b) Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;

c) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan

d) Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.

Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan Bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas.

Untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya Risiko Likuiditas, aktivitas Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan oleh Bank antara lain adalah:

a) Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.

b) Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.

c) Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.

d) Selanjutnya Bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.

e) Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya dan meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.

Oleh karena itu bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuiditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.

Ketika pemerintah merencanakan untuk menerbitkan surat utang negara (SUN) guna memperkuat anggaran, muncul spekulasi bakal terjadi kekeringan likuiditas di perbankan nasional. Pasalnya, dengan asumsi imbal hasil (yield), surat utang akan memancing migrasi dana dari perbankan ke surat utang tersebut. Itu tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Kekeringan likuiditas akan terjadi, mayoritas dana perbankan berpindah ke instrumen surat utang pemerintah. Tapi, selama ini, kekhawatiran itu tidak pernah terbukti. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan memperkirakan, pada 2010 ini pemerintah akan menerbitkan SUN sekitar Rp 175 triliun untuk pembiayaan APBN. Dari Rp 175 triliun tersebut diperkirakan 70 persen dalam bentuk denominasi rupiah, sisanya dalam bentuk valuta asing.

Dalam pandangan pemerintah, penerbitan SUN dalam negeri bisa mendorong terjadinya persaingan dengan perbankan dalam menghimpun dana masyarakat. Di sisi lain, kebutuhan berbagai negara untuk mendanai pemulihan ekonomi juga masih cukup tinggi, sehingga banyak negara akan menerbitkan surat berharga. Jadi, penerbitan SUN tidak akan membuat dana-dana perbankan berpindah secara masif (crowding out) ke surat berharga tersebut. Pasalnya, pasar SUN dan produk perbankan memiliki karakteristik dan fitur berbeda, sehingga penerbitan SUN tidak akan mengganggu bank dalam menghimpun dana masyarakat. Masing-masing instrumen mempunyai pasarnya.

Kalangan masyarakat kelas atas ada kemungkinan mendiversifikasi portofolio mereka ke SUN, namun mayoritas masyarakat tetap akan menaruh uangnya di perbankan. Ada beberapa motif masyarakat menempatkan dananya di instrumen keuangan perbankan.

Pertama, untuk investasi jangka panjang. Deposito berjangka menjadi pilihan utama karena imbal hasilnya lebih baik ketimbang tabungan dana giro.

Kedua, untuk keperluan transaksi. Banyak masyarakat membutuhkan dukungan perbankan dalam melakukan transaksi keuangan, seperti kirim uang dan pembayaran transaksi perdagangan.

Ketiga, untuk keamanan. Sebagian masyarakat masih memandang menyimpan uang di bank relatif aman karena ada program penjaminan dari pemerintah.

Dengan menilik motif tersebut, maka kecil peluang terjadinya situasi crowding out di perbankan Indonesia terkait penerbitan SUN. Masyarakat umum, khususnya investor, memiliki pilihan dan preferensi untuk menempatkan dananya sesuai dengan motif masing-masing.

Indikator bahwa masyarakat masih memercayai lembaga perbankan sebagai tempat menyimpan uang terlihat dari besarnya dana masyarakat yang terserap di perbankan nasional. Memang, jumlah simpanan bank umum pada April 2010 turun 0,07 persen (month on month/mom) menjadi Rp 1.999 triliun. Ini jauh di atas volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 sekitar Rp 1.100 triliun.

Penurunan itu dipicu oleh sebagian besar segmen yang mengalami penurunan, kecuali segmen dana di bawah Rp 100 miliar yang meningkat sebesar 0,69 persen (mom). Sedangkan jumlah rekening mengalami peningkatan 0,81 persen. Adapun yang mengalami peningkatan adalah dana pada tiering sampai dengan Rp 100 juta dan tiering Rp 100 juta hingga Rp 500 juta, masing-masing sebesar 0,83 persen dan 0,04 persen.

Data tersebut mengindikasikan bahwa pendalaman keuangan (financial deepening) di industri perbankan nasional masih berjalan baik, sehingga mampu menjembatani kebutuhan kredit untuk sektor riil yang mencapai kisaran Rp 1.450 triliun. Justru SUN dapat menjadikan pasar keuangan di Indonesia kian marak karena alternatif investasi menjadi lebih beragam. Dengan demikian, dapat mendukung kestabilan sektor keuangan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar