ARTIKEL "Pendidikan Kewarganegaraan dan Demokrasi Indonesia" oleh A Ubaidillah (Kompas, 16/1) menarik untuk ditanggapi lebih lanjut. Ada dua hal yang coba diangkat dalam tulisan itu.
Pertama, pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang selama ini diadakan di Indonesia telah menyimpang dari tujuan mulia pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Entah karena model pendekatan pengajaran yang sifatnya tidak dialogis-partisipatoris, atau karena muatan-muatan politis-ideologis yang dikenakan pada pendidikan kewarganegaraan selama masa Orde Baru (Orba), pendidikan kewarganegaraan dianggap mengalami kegagalan. Dan harga yang harus dibayar karena kegagalan itu amat mahal, antara lain rusaknya moralitas bangsa Indonesia.
Kedua, Ubaidillah memvisikan sebuah pendidikan kewarganegaraan yang demokratis-partisipatoris dengan desain materi yang melibatkan para siswa secara aktif dalam proses pendidikan itu. Di sini ia menyitir pemikiran John Dewey mengenai demokrasi sebagai contoh bagaimana sebuah pendidikan kewarganegaraan seharusnya dipraktikkan.
Kritik kosong?
Tilikan kritis Ubaidillah tentang praktik pendidikan kewarganegaraan selama ini mau tidak mau membawa kita kepada kesimpulan, reformasi pendidikan kewarganegaraan belum terjadi. Karena itu kini saatnya kita melakukan reformasi menyeluruh. Demi keakuratan data, harus dikatakan, pendidikan kewarganegaraan mulai diajarkan lagi secara formal di sekolah sejak 2001. Semula bidang studi ini bernama Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi sejak tahun 2002 berubah menjadi Kewarganegaraan (Civic). Selama tiga tahun terjadi tiga kali perubahan draf kurikulum. Amat jelas dari draf kurikulum itu tidak hanya tema-tema seputar demokrasi, civil society, dan HAM sebagaimana diusulkan Ubaidillah, tetapi juga tema-tema sentral lain yang sifatnya pengembangan diri (self-help).
Tentu saja desain ketiga kurikulum itu amat menekankan model aktif, dialogis- partisipatif. Kurikulum kewarganegaraan kita menyebutnya sebagai model pendekatan belajar kontekstual, di mana partisipasi aktif dan dialogis siswa hanya salah satu unsur dari pendekatan itu. Model pendekatan ini hendak menonjolkan salah satu aspek filsafat pendidikan yang sedang up to date, yakni pendidikan apa pun harus dimulai dari pengalaman siswa. Mirip metode kebidanan Socrates, pengalaman siswa (konteks)-pengalaman hidup bermasyarakat dan bernegara-didialogkan di antara teman-teman dan guru. Materi yang tersaji di buku dan silabus hanya akan menjadi rangkaian pemikiran konseptual (a bundle of thought) yang akan menerangi penggalan-penggalan pengalaman itu.
Pertanyaannya, sejauh mana pendidikan kewarganegaraan yang sudah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun benar-benar berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila, PPKn atau penataran P4 sebagaimana diprihatinkan Ubaidillah? Terlepas dari bagaimana diajarkan di sekolah, rancangan pendidikan kewarganegaraan yang kita miliki kini amat berbeda dari pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila sebelumnya. Seluruh aspek moral Pancasila yang sebelumnya mendominasi praktik pendidikan di Indonesia kini justru didekonstruksi dan "dilucuti" dari pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan yang kini ada, mengadopsi pendekatan multidimensi. Karena itu tilikan moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi beragam (tidak lagi Pancasila sentris). Tentu saja demokrasi dan seluruh aspek yang berhubungan dengannya seperti partisipasi warga negara, peran pers, keadilan dan kepastian hukum, pemilihan umum, dan sebagainya mendapat perhatian istimewa.
Kritik Ubaidillah, "budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatnya korupsi di kalangan elite bisa menjadi fakta gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu" tidak sepenuhnya benar. Bila mau jujur, pendidikan agama telah mengalami kegagalan. Tapi apakah di situ letak masalahnya?
Cara berpikir filosofis membedakan antara kondisi-kondisi yang niscaya bagi terjadinya sesuatu (necessary condition) dan alasan yang memadai bagi terjadinya sesuatu itu (sufficient reason). Apa yang dikritik Ubaidillah adalah kondisi yang memungkinkan terjadinya kemerosotan moral bangsa, tetapi bukan merupakan alasan memadai. Mengingat pengetahuan mengenai yang baik (good) tidak menjamin seseorang pasti berperilaku baik (bermoral), maka tantangannya adalah sejauh mana orang Indonesia menjadi pribadi otentik sebagaimana dipahami Immanuel Kant. Seluruh prinsip moral yang diketahui harus sungguh-sungguh menjadi imperatif kategoris bagi tindakan-tindakan kita karena prinsip-prinsip moral tersebut baik pada dirinya sendiri.
Demokrasi pragmatis
Saya kira tepat Ubaidillah menyitir pemikiran John Dewey mengenai demokrasi sebagai rujukan pentingnya pendidikan yang demokratis dalam pendidikan kewarganegaraan. Meski demikian, mengatakan pemikiran demokratis Dewey "lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok" justru dapat menjadi konsep yang kontradiktif dengan konsep pendidikan kewarganegaraan yang demokratis-partisipatoris sebagaimana ditekankan Ubaidillah. Bagaimana mungkin sebuah pendidikan kewarganegaraan yang dialogis- partisipatoris (demokratis) dapat dipraktikkan bila yang ditonjolkan kepentingan umum (baca: negara)? Apakah John Dewey memaksudkan demikian?
Menurut Shannon Sullivan (Philosophy Today, vol 41:2, 1997), demokrasi selalu dipahami Dewey sebagai demokrasi pragmatis. Yang ia maksud adalah "a humanistic liberal democracy that has the goal of helping humans find ways to eliminate suffering in their lives" (hlm 299). Dalam arti itu harus dikatakan, demokrasi memampukan individu untuk secara pragmatis menemukan cara/jalan guna berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi mencapai kehidupan lebih baik dan membahagiakan (pragmatisme mengajarkan, sesuatu itu bernilai kalau ia bermanfaat bagi individu).
John Dewey tidak berbicara mengenai pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan individu atau kelompok. Menurut filsuf Amerika ini, individu adalah pribadi (self) yang memiliki perilaku/kebiasaan tertentu (habits) dan dorongan atau kecenderungannya (impulses). Sebagai warga suatu masyarakat atau bangsa, habits dan impulses individu ini belum tentu cocok/sesuai kepentingan masyarakat di mana ia hidup. Karena itu setiap individu (sebagai warga negara) perlu melakukan tawar-menawar antara kepentingan dirinya dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam tawar-menawar itu individu dapat mengubah kebiasaan dan perilakunya, dengan catatan, dengan melakukan hal itu ia akan mencapai tujuan akhir, yakni to eliminate suffering in one’s life, Dewey menyebut proses tawar-menawar ini sebagai rekonstruksi, yakni suatu proses di mana "I must find a way to change my habits," bukan untuk memasung kepentingan individu demi kepentingan negara, tetapi untuk mencapai growth of individuals, karena "growth of individual leads to growth of the culture which produces even greater growth of individuals, and so on" (Sullivan, hlm 307).
Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, gagasan demokrasi John Dewey hendak menegaskan pentingnya pendidikan kewarganegaraan Indonesia dijalankan sebegitu rupa sehingga memperkuat posisi tawar individu berhadapan dengan kekuatan negara. Inilah tantangan yang harus dijawab kita bersama.
Jeremias Jena Penulis Buku Kewarganegaraan SMA, Mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Dosen Character Building pada Universitas Bina Nusantara, Jakarta
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/06/opini/836267.htm
memang selama ini para siswa kurang minat bukan hanya segi materinyua saja ,,namun metode pengajaran di kelas,terhadap mata pelajaran PKn karena cenderung dalam metode pengajarannya kurang menarik untuk diikuti sebenarnya kajian dalam materi PKn sesungguhnya menarik namun permasalahannya adalah bagaimana guru meelaborasikan ,memililih metode yang tepat dalam pembelajarannya di kelas,agar lebih demokratis dan menyenangkan
BalasHapusHi... Wah, tulisan saya Anda posted di blog Anda, ya. Tidak apa2 juga sih... Jangan lupa kunjungi juga blog saya dan nikmati tulisan2 lainnya. Salam: Jeremias Jena
BalasHapus